Archive for the ‘Kisah Sahabat Nabi’ Category

Utsman Bin Affan – Kebaikannya Tidak Menghindarkannya Dari Fitnah

Utsman bin Affan ra, adalah seorang yang bertakwa, selalu bersikap wara’. Tengah malam tak pernah ia sia-siakan. la memanfaatkan waktu itu untuk mengaji Al-Quran dan setiap tahun ia menunaikan ibadah haji. Bila sedang berzikir dari matanya mengalir air mata haru. la selalu bersegera dalam segala amal kebajikan dan kepentingan umat. la juga dermawan dan penuh belas kasih. la telah melaksanakan hijrah sebanyak dua kali, pertama ke Habasyah, dan yang kedua ke Madinah. Laknat dan kutukan Allah bagi siapa saja yang membenci Utsman ra.

Pada akhir tahun 34 hijriyah, pemerintahan Islam. dilanda fitnah. Yang menjadi sasaran fitnah adalah Utsman ra sampai mengakibatkan beliau terbunuh pada tahun berikutnya.
Fitnah yang keji datang dari Mesir berupa tuduhan-tuduhan palsu yang dibawa oleh orang-orang yang datang hendak umrah pada bulan Rajab.
Ali bin Abi Thalib ra mati-matian membela Utsman dan menyangkal tuduhan mereka. Ali menanyakan keluhan dan tuduhan mereka, yang.segera di jawab oleh mereka, “Utsman telah membakar mushaf-mushaf, shalat tidak diqasar sewaktu di Mekkah, mengkhususkan sumber air untuk kepentingan dirinya sendiri dan mengangkat pejabat dari kalangan generasi muda. la juga mengutamakan segala fasilitas untuk Bani Umayyah (golongannya) melebihi orang lain.”

Pada hari Jum’at, Utsman berkhutbah dan mengangkat tangannya seraya berkata, “Ya Allah, aku beristighfar dan bertaubat kepadamu. Aku bertaubat atas perbuatanku.”
Ali ra menjawab, “Mushaf-mushaf yang dibakar ialah yang mengandung perselisihan dan yang ada sekarang ini adalah yang disepakati bersama kesahannya. Adapun salat yang tidak di qasar sewaktu di Mekkah, adalah karena dia berkeluarga di Mekkah dan dia berniat tinggal di sana. Oleh karena itu salatnya tidak diqasar. Adapun sumber air yang dikhususkan itu adalah untuk ternak sodakoh sampai mereka besar, bukan untuk ternak unta dan domba miliknya sendiri. Umar juga pernah melakukan ini sebelumnya. Adapun mengangkat pejabat dari generasi muda, hal ini dilakukan semata-mata karena mereka mempunyai kemampuan di bidang-bidang tersebut. Rasulullah juga pernah melakukan ini hal yang demikian. Adapun dia mengutamakan kaumnya, Bani Umayyah, karena Rasulullah sendiri menda-hulukan qurasy dari pada bani lainnya. Demi Allah kalau kunci surga di tanganku, aku akan memasukkan Bani Umayyah ke surga.”

Setelah mendengar penjelasan Ali ra umat Islam pulang dengan rasa puas. Tapi para peniup fitnah terus melancarkan fitnahan-fitnahan dan merencanakan makar jahatnya. Di antara mereka ada yang menyebarkan tulisan dengan tanda tangan palsu dari pada sababat termuka yang menjelek-jelekkan Utsman. Mereka juga menuntut agar Utsman dibunuh.
Fitnah kejipun terus menjalar dengan kejamnya, sebagian besar umat termakan fitnahan-fitnahan tersebut hingga teriadinya pembunuhan atas dirinya, setelah sebelumnya terkepung selama satu bulan di rumahnya. Peristiwa inilah yang disebut dengan “Al Fitnah al Kubra” yang pertama, hingga merobek persatuan umat Islam.

Khadijah Binti Khuwailid – Istri Rasulullah Yang Agung

Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang da’wah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mu’minin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.

Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa.”

Kenapa kita bersusah payah mencari teladan di sana-sini, pada- hal di hadapan kita ada “wanita terbaik di dunia,” Khadijah binti Khu- wailid, Ummul Mu’minin yang setia dan taat, yang bergaul secara baik dengan suami dan membantunya di waktu berkhalwat sebelum diangkat men- jadi Nabi dan meneguhkan serta membenarkannya.
Khadijah mendahului semua orang dalam beriman kepada risalahnya, dan membantu beliau serta kaum Muslimin dengan jiwa, harta dan keluarga. Maka Allah SWT membalas jasanya terhadap agama dan Nabi-Nya dengan se- baik-baik balasan dan memberinya kesenangan dan kenikmatan di dalam is- tananya, sebagaimana yang diceritakan Nabi SAW, kepadanya pada masa hi- dupnya.

Ketika Jibril A.S. datang kepada Nabi SAW, dia berkata :”Wahai, Rasulullah, inilah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan aku, dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” [HR. Bukhari dalam “Fadhaail Ashhaabin Nabi SAW. Imam Adz-Dzahabi berkata :”Keshahihannya telah disepakati.”]

Bukankah istana ini lebih baik daripada istana-istana di dunia, hai, orang-orang yang terpedaya oleh dunia ?
Sayidah Khadijah r.a. adalah wanita pertama yang bergabung dengan rombongan orang Mu’min yang orang pertama yang beriman kepada Allah di bumi sesudah Nabi SAW. Khadijah r.a. membawa panji bersama Rasulullah SAW sejak saat pertama, berjihad dan bekerja keras. Dia habiskan kekayaannya dan memusuhi kaumnya. Dia berdiri di belakang suami dan Nabinya hingga nafas terakhir, dan patut menjadi teladan tertinggi bagi para wanita.

Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat- ayat Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.

Nabi SAW tetap dalam sikap yang demikian itu hingga malaikat meninggalkannya. Kemudian, beliau pergi kepada Khadijah dalam keadaan takut akibat yang didengar dan dilihatnya. Ketika melihatnya, Khadijah berkata :”Dari mana engkau, wahai, Abal Qasim ? Demi Allah, aku telah mengirim beberapa utusan untuk mencarimu hingga mereka tiba di Mekkah, kemudian kembali kepadaku.” Maka Rasulullah SAW menceritakan kisahnya kepada Khadijah r.a.
Khadijah r.a. berkata :”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang menguasai nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.” Nabi SAW tidak mendapatkan darinya, kecuali pe neguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya. Demikian hendaknya wanita ideal.

Itulah dia, Khadijah r.a., yang Allah SWT telah mengirim salam kepadanya. Maka turunlah Jibril A.S. menyampaikan salam itu kepada Rasul SAW seraya berkata kepadanya :”Sampaikan kepada Khadijah salam dari Tuhannya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :”Wahai Khadijah, ini Jibril menyampaikan salam kepadamu dari Tuhanmu.” Maka Khadijah r.a. menjawab :”Allah yang menurunkan salam (kesejahteraan), dari-Nya berasal salam (kesejahteraan), dan kepada Jibril semoga diberikan salam (kesejahteraan).”

Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah r.a. pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung da’wah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah r.a. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolong- nya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong- nya dengan jiwa dan hartanya.

Rasulullah SAW bersabda :”Khadijah beriman kepadaku ketika orang- orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-nya, 6/118]
Diriwayatkan dalam hadits shahih, dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan Keutamaannya, 1/539]

Umar Bin Khattab – Amirul Mukminin

Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar sering terlambat salat Jum’at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.
Kebijaksanaan dan keadilan Umar ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Sehingga jauh-jauh hari Umar sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat keridloan Nabi SAW, ketika beliau akan wafat. Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Azzubair ibnul Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan ‘Abdurrahman bin Auf. Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh nabimu.

Karena ketinggian sikap hati-hati, maka Umar sengaja tidak menunjukkan anak paman dan adik iparnya sendiri, yaitu Said bin Zaid bin Amru bin Nufail. la khawatir orang lain menuduhnya karena dia masih keluarga Umar, meskipun Said bin Zaid adalah salah seorang dari kesepuluh orang yang memperoleh kabar gembira masuk surga.
Umar juga berpesan kepada sahabatnya yang enam orang itu, agar putranya Abdullah menghadiri musyawarah, tetapi ia tidak memiliki hak untuk dipilih. Kehadiran Abdullah untuk mengutarakan pendapat, menyumbang saran saja. la tidak boleh diserahi kekuasaan apapun. Disamping itu juga berpesan, agar selama sidang musyawarah, yang menjadi imam salat adalah Shuhaib bin Sannan Arrumi sampai musyawarah itu usai.

Umar hanya mengangkat keenam orang itu dan tidak menyertakan Ubaidah ibnu Jarrah (orang ke sepuluh yang diberitakan masuk surga) karena ia telah wafat. la juga tidak mengangkat Said bin Zaid (orang ke sembilan yang diberitakan masuk.surga), karena ia adalah adik iparnya sendiri. Selain itu, Said tidak berminat memangku suatu jabatan apapun. Dia hanya ingin menjadi tentara yang terjun ke kancah perang dan perluasan dakwah. la bercita-cita gugur sebagai syahid di medan tempur dan Umar mengetahui hal itu.

Itulah gaya suksesi Umar bin Khattab, seorang khalifah yang adil dan bijaksana. Kebijaksanaan Umar diakui masyarakat muslim, yang menyatakan setelah Umar wafat, “Wahai Umar, engkau selalu meluruskan segala sesuatu yang bengkok. Engkau memadamkan segala api fitnah dan menghidup-hidupkan sunnah Nabi. Engkau meninggalkan dunia dengan bersih dan engkau bebas dari segala aib dan cemar.”

Hudhayfa Ibnul Yaman – Seteru Kemunafikan, Kawan Keterbukaan

Penduduk kota Madain berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu’minin Umar ra. Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka rindu untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan ketaqwaannya, begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak.
Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri. Ia mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua kakinya teruantai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam sedang mulutnya sedang mengunyah.

Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang itu tidak lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman, maka mereka jadi bingung dan hampir-hampir tidak percaya. Tetapi apa yang akan diherankan? Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar? Hal itu dapat difahami, karena baik di masa kerajaan Persi yang terkenal itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia ini.
Hudhayfa meneruskan perjalanan sedang orang-orang berkerumun dan mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya, “Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!” Ujar mereka, “Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?” Ujarnya, “Pintu rumah para pembesar!” Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan!”

Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena’jubkan! Dari ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang apa saja yang terdapat di dunia ini, begitupun yang lebih hina dalam pandangan matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri baru ini, serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.

Hudhayfa Ibnu Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi’at istimewa. Di antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekalipun. Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah SAW dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia menjaganya secara teguh dan suci, serta tulus dan gagah berani dan diapndangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina.

Ia terdidik ditangan Rasulullah SAW dengan kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya shubuh, hingga tak suatupun dari persoalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang benar dan jujur, mencintai orang-orang yng teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya, orang-orang culas bermuka dua!
Ia bergaul dengan Rasulullah SAW dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudhayfa ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pengkuan agama Islam, di hadapan Rasulullah SAW dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari shahabat-shahabat Rasulullah SAW. Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan, hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi’at dan airmuka seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam.

Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya, hingga Amirul Mu’minin Umar r.a. yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudhayfa, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka. Sungguh Hudhayfa telah dikaruniai fikiran jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang biak itu adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek ialah yang gelap atau samar-samar, dan karena itu orang yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.

Demikianlah Hudhayfa r.a terus menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafiq. Berkata ia, “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya. Pernah kubertanya, ‘Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah dibalik kebaikan ini ada kejahatan?’ ‘Ada’, ujarnya. ‘Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?’ tanyaku pula. ‘Memang, tetapi kabur dan bahaya.’ ‘Apakah bahaya itu?’ ‘Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.’ ”

‘Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkan ada lagi kejahatan?’ tanyaku pula. ‘Masih,’ ujar Nabi, ‘Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka!’ Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?’ Ujar Rasulullah, ‘Senantiasa mengikuti jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka!’ ‘Bagaimana kalau mereka tidak punya jama’ah dan tidak pula pemimpin?’ ‘Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walau kamu akan tinggal dirumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian!’

Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya, “Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya.” Hudhayfa Ibnu Yaman menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba situasi. Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akan fikirannya lalu dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang ‘arif dan bijaksana.

Berkatalah ia, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah membangkitkan Muhammad SAW, maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati! Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan durjana.”
Di antara manusia ada yang menerima, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menentang yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya tanpa mengikut sertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq.

Dan apapula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikut sertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq. Dan adapula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa.
Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya, “Hati itu ada empat macam: Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang.”

Pengalaman Hudhayfa yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya, “Saya datang menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, ‘Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka.’ Maka ujar Rasulullah SAW, ‘Kenapa kamu tidak beristighfar?’ ‘Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.’ ” Nah inilah dia Hudhayfa musuh kemunafikan dan shahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudhayfa, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan ditangan srikandi Islam sendiri yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik.

Hudhayfa melihat dari jauh pedang sedang dihujamkan kepada ayahnya, ia berteriak, “Ayahku.. ayahku… Jangan ia ayahku..” Tetapi qadla Allah telah tiba. Dan ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, merekapun diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya, “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang.”
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya. Akhirnya peperanganpun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga Rasulullah SAW. Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda Hudhayfa (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudhayfa ini dan disuruh membagikannya kepada kaum muslimin. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya.

Keimanan dan kecintaan Hudhayfa tidak kenal lelah dan lemah, bahkan juga tidak kenal mustahil. Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi, Rasulullah SAW bermaksud hendak mengentahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin topan dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak ditempatnya. Dan suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah SAW.

Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apapun kekuatan itu yang berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka? Maka Rasulullah yang memilih di antara para shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini, dan tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah Hudhayfa Ibnu Yaman.

Ia dipanggil oleh Rasulullah SAW untuk melakukan tugas, dan dengan patuh dipenuhinya. Dan sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya. Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan timpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.

Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudhayfa malam itu, amat mena’jubkan sekali. Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu secara diam-diam menyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah memadamkan alat-alat penerangan fihak lawan hingga mereka berada dalam gelap gulita, sementara Hudhayfa ra telah mengambil tempat di tengah-tengah prajurit musuh itu.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum muslimin untuk menyusup ke perkemahan mereka. Maka iapun berdirilah untuk memperingatkan anak buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudhayfa dan bunyinya sebagai berikut, “Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya.”

Kata Hudhayfa, “Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya, ‘Siapa kamu ini?’ Ujarnya, ‘Si Anu anak si Anu.’ Demikianlah Hudhayfa mengamankan kehadirannya di kalangan tentara musuh itu hingga selamat. Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tentaranya, katanya, “Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi, kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya unta.”
“Bani Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian sayapun akan berangkat.” Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya. Kata Hudhayfa, “Kalau tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah.”

Hudhayfa kembali kepada Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan berita gembira itu. Barangsiapa yang pernah bertemu muka dengan Hudhayfa dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta tekunnya untuk mencapai ma’rifat, tak mungkin akan mengharapkan daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran.
Tetapi anehnya dalam bidang inipun Hudhayfa melenyapkan segala dugaan itu. Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh terpenting pada pembebasan seluruh wilayah Irak. Kota-kota Hamdan, Rai dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudhayfa.

Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mu’minin Umar memilih sebagai panglima Islam Nu’man bin Muqarrin, sedang kepada Hudhayfa dikirimnya surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah. Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya, “Jika kaum muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Nu’man bin Muqarrin. Dan seandainya Nu’man tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudhayfa, dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah.”

Amirul Mu’minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan. Dan kedua pasukanpun berhadapanlah. Pasukan Persi dengan 150 ribu tentara, sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang terdasyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima besar kaum muslimin gugur sebagai syahid, Nu’man bin Muqarrin tewaslah sudah. Tetapi sebelum bendera kaum muslimin menyentuh tanah, panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin kemenanganpun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang bru itu tiada lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman. Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya agar kematian Nu’man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentuan. Lalu dipanggilnya Na’im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan saudaranya Nu’man, sebagai penghormatan kepadanya.

Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu hanya beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat, kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan, “Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya, Allahu Akbar, telah dibela-Nya tentara-Nya”. Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah anak buahnya, dan berseru, “Hai ummat Muhammad SAW, pintu-pintu surga telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lebih lama, Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar, Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk.” Dengan ucapan-ucapannya itu Hudhayfa telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tak dapat dikatakan telah menambah dan melipat gandakannya. Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya.

Zubair Ibnul Awwam – Seorang Bernilai Seribu Orang

Antara Thalhah dan Azzubair adalah dua serangkai. Bila yang seorang disebut maka yang kedua pun disebut. Mereka sama-sama beriman pada tahun yang sama dan wafat dalam tahun yang sama pula. Kedua-duanya tergolong kesepuluh orang yang “mubasyarin bil jannah”.

Awal Masuk Islam
Azzubair masuk Islam dalam usia lima belas tahun dan ia hijrah dalam usia delapan belas tahun sesudah menderita penganiayaan dan siksaan bertubi-tubi karena mempertahankan keimanannya. Pamannya sendirilah yang menyiksanya. Azzubair digulung ke dalam tikar, lalu kakinya digantung diatas dan dibawah kepalanya ditaruh api yang membara. Pamannya berkata, “Kembali kamu kepada penyembahan berhala !” Tapi Azzubair menjawab, “Saya tidak akan kembali kafir lagi sama sekali.”

Peperangan pertama antara Syirik dan Iman
Azzubair adalah prajurit dakwah yang menyandang senjata untuk melawan orang-orang yang menghendaki gugurnya dakwah Islamiah selagi dalam kandungan. Kepahlawanannya telah tampak pertama kali pada waktu perang Badar. Dalam peperangan itu, pasukan Quraisy menempatkan pendekarnya dibarisan terdepan yang dipimpin oleh Ubaidah bin Said Ibnul Aash. Dia dikenal sebagi seorang yang paling berani, paling pandai dalam menunggang kuda dan paling kejam terhadap lawan. Kaum Quraisy sengaja menempatkannya di barisan terdepan untuk menantang pahlawan-pahlawan berkuda kaum muslimin. Azzubair segera memandang kearah Ubaidah. Ternyata seluruh tubuhnya berbalut senjata (baju besi) sehingga sulit ditembus dengan senjata. Yang tampak dari Ubaidah hanya kedua matanya saja. Azzubair berpikir bagaimana caranya mengalahkan musuhnya yang berbaju besi itu dan ia menemukan cara yang jitu. Setelah siap, Azzubair terjun kemedan tempur dan terjadilah perang tanding yang seru sekali. Dalam dua kali putaran Azzubair mengarahkan lembingnya kemata Ubaidah dan berhasil menusuk kedua mata itu sampai kebelakang kepalanya. Ubaidah, pendekar Quraisy itu berteriak dan jatuh tersungkur tanpa gerak. Menyaksikan terbunuhnya Ubaidah yang tragis ini, barisan kaum musyrikin ketakutan. Lembing milik Azzubair kemudian diminta oleh Rasulullah SAW. Lembing itu kemudian berada ditangan Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Abdullah ibnu Azzubair meminta lembing itu untuk disimpannya. Terbunuhnya pendekar Quraisy Ubaidah menambah semangat juang Umat Islam dalam setiap peperangan dan mereka selalu dapat memenangkannya.

Rasulullah SAW sangat mencintai Azzubair
Rasulullah SAW merasa bangga terhadap Azzubair, dan ia bersabda : “Setiap nabi mempunyai pengikut pendamping yang setia(Hawari) dan hawariku adalah Azzubair ibnul Awwam.” Kecintaan Rasulullah SAW kepada Azzubair bukan hanya disebabkan ia anak bibi Rasulullah SAW tetapi karena Azzubair memang seorang pemuda yang setia, ikhlas, jujur, kuat, berani,murah tangan dan telah menjual diri dan hartanya kepada ALLAH. Dia adalah seorang pengelola perdagangan yang berhasil dan hartawan, tapi hartanya selalu diinfakan untuk perjuangan Islam.

Yang pertama Menyambut Panggilan Jihad
Bila diserukan “Hayo berjihad fi Sabilillah”, maka ia akan segera menjadi orang pertama yang datang menyambut seruan itu. Oleh karena itulah Azzubair selalu mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah SAW. Selama hidupnya ia tidak pernah absen berjihad. Ketika kaum muslimin mengepung perbentengan bani Quraidah yang kokoh dan sulit dikuasai, Azzubair bersama Ali bin Abi Thalib menyerbu dengan memanjat benteng itu sehingga kaum muslimin dapat memasuki dan menguasai benteng tersebut. Begitu pula kesigapan Azzubair dalam menyambut seruan jihad pada perang Alahzaab dan peperangan lainnya sehingga bila Rasulullah SAW melihatnya, Beliau tersenyum ridho dan gembira, seraya bersabda : :Tiap nabi mempunyai kawan dan pembela setia(Hawari) dan di antara hawariku adalah Azzubair.”. Azzubair tercatat dalam rombongan yang pernah hijrah ke negeri Habasyah sebelum hijrah ke Madinah.

Seorang Bernilai Seribu Orang
Ketika Amru Ibnul Aash meminta bala bantuan tentara kepada Amirul Mukminin, Umar Ibnul Khattab untuk memperkuat pasukan memasuki negeri Mesir dan mengalahkan tentara Romawi yang kala itu menduduki Mesir, Umar Ra mengirim empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan dan ia juga menulis surat yang isinya : Aku mengirim empat ribu prajurit bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat yang terkemuka dan masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang komandan itu ?, mereka adalah Azzubair Ibnul Awwam, Ubadah Ibnu Assamit, Almiqdaad Ibnul Aswad dan Maslamah bin Mukhallid.” Ketika menghadapi benteng Babilion, kaum muslimin sukar membuka dan menguasainya. Azzubair Ra memanjati dinding benteng dengan tangga. Lalu ia berseru ” Allahu Akbar” dan disambut dengan kalimat tahuid oleh pasukan yang berada diluar benteng. hal ini membuat pasukan musuh gentar, panik dan meninggalkan pos-pos pertahanan mereka sehingga Azzubair dan kawan-kawannya bergegas membuka pintu gerbang maka tercapailah kemenangan yang gilang gemilang pada kaum muslimin.

Wafatnya Azzubair Ra
Ketika terjadi pertempuran hari “Aljamal” antara pasukan yand dipimpin Siti Aisyah Ra dengan pasukan Ali Ra, Azzubair bertemu dengan Ali dan menyatakan dirinya tidak lagi memihak dan akan berusaha mendamaikan kedua pasukan itu. Setelah itu maka diapun pergi. Tetapi dia dibuntuti oelh beberapa orang yang menginginkan berlanjutnya fitnah dan perang. Azzubair ditikam ketika sedang menghadap Allah (dalam keadaan menunaikan shalat).

Thalhah bin Ubaidillah – Pribadi yang Pemurah dan Dermawan

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah merupakan salah seorang dari delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu orang bernilai seribu orang. Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Thalhah masuk Islam melalui anak pamannya, Abubakar Assidiq Ra.

Awal Masuk Islam
Dengan disertai Abubakar Assiddiq, Thalhah pergi menemui Rasulullah SAW. Setelah berhasil jumpa dengan Rasulullah SAW, Thalhah mengungkapkan niatnya hendak ikut memeluk Dinul haq, Islam. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Setelah menyatakan keislamannya di hadapan Muhammad SAW, Thalhah dan Abubakar Ra pun pergi. Tapi ditengah jalan mereka dicegat oleh Nofel bin Khuwailid yang dikenal dengan “Singa Quraisy”, yang terkenal kejam dan bengis. Nofel kemudian memanggil gerombolannya untuk menangkap mereka. Ternyata Thalhah dan Abubakar tidak hanya ditangkap saja. Mereka diikat dalam satu tambang lalu dipukuli. Semua itu dilakukan Nofel sebagai siksaan atas keislaman Thalhah. Oleh karena itu Thalhah dan Abubakar Ra dijuluki “Alqorinan” atau “dua serangkai”. Thalhah adalah seorang lelaki yang gagah berani, tidak takut menghadapi kesulitan, kesakitan dan segala macam ujian lainnya. Ia seorang yang kokoh mempertahankan pendirian meskipun ketika jaman jahiliah.

Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah SAW
Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abubakar Ra selalu teringat pada Thalhah. Ia berkata, “Perang Uhud adalah harinya Thalhah. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: “Lihatlah saudaramu ini.” Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus.” Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW. Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah”. Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat. Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, “Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku.” Nabi SAW tersenyum dan berkata, ” Engkau adalah Thalhah kebajikan.” Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, ” Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ….” Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”

Thalhah Yang Dermawan
Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su’da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, ” Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?” Maka istrinya berkata, “Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin.” Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.” Jaabir bin Abdullah bertutur, ” Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.” Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”.

Wafatnya Thalhah
Sewaktu terjadi pertempuran “Aljamal”, Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia wafat. Thalhah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra. Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat Ra, “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah. Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (Al-Ahzaab: 23)

Hafshah Binti Umar – Profil Seorang Shahabiah yang Teguh dan Sabar

Beliau adalah ummul mukminin yang gemar berpuasa dan shalat. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un binti Hasib. Hafshah adalah istri dari sahabat Khunais bin Khudzafah Al Sahmi yang ikut hijrah ke Habsyah dan Madinah. Khunais syahid pada perang Uhud. Ketika itu Hafshah berusia 18 tahun. Meski hidup dirundung duka, namun keimanan dan keteguhan hati Hafshah dapat meredam segala yang terjadi dan menerpa pada dirinya. Ia menyadari benar bahwa semua adalah takdir dari-Nya. Kesabaran, ketabahan, sikap hidup qanaah dan wara’ Hafshah selalu menyelimuti pribadinya. Umar sebagai ayah dari sahabiah yang dijuluki shawwamah (selalu puasa) dan qawwamah (selalu bangun malam) ini, beliau berusaha mencarikan teman hidupnya yang cocok. Beliau berangan jika Hafshah dipertemukan oleh Allah dengan sahabat Utsman bin Affan ra. Karena Utsman juga senasib dengan Hafshah. Utsman telah ditinggal oleh istrinya yang tercinta Ruqayyah binti Rasulullah SAW.

Selain itu Ustman adalah sahabat Rasulullah yang terdekat. Beliau terkenal dengan julukan Al Faruq. Akan tetapi Allah menghendaki lain, meski Umar, Sang Ayah, berkeinginan keras agar Hafshah dapat dipertemukan dengan Utsman ra. namun ternyata Utsman menyatakan ketidaksanggupannya dengan halus. Selain Utsman, Abu Bakar juga diberi tawaran untuk mempersunting sahabiah Hafshah ini. Namun, ternyata belum juga dikehendaki oleh Allah. Barangkali, disinilah hikmah-Nya yang sangat agung. Bahwa di setiap kesusahan pasti akan datang kemudahan. Dan apa yang belum digenggam di tangan manusia di saat ini, barangkali akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik di hari depan.

Sebagai seorang ayah, sahabat Umar tetap berusaha mencarikan pasangan hidup yang serasi untuk shahabiah Hafshah. Setelah beberapa langkah ia tempuh dan Allah belum membukakan jalan, akhirnya semua diadukan kepada Rasulullah SAW. Dari Rasulullah inilah hati Umar merasa tenteram. Dahaga yang diresahkan Umar, disiram dengan kesejukan kata mulia dari makhluk Allah yang paling mulia, Rasulullah SAW. Rasulullah berkata, bahwa Hafshah akan menikah dengan yang lebih baik dari Utsman. Dan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.

Dan benar, akhirnya Allah mempertemukan sahabiah Hafshah dengan manusia teragung di dunia ini, Rasulullah SAW. Hal ini belum pernah terbayangkan oleh Hafshah, bahkan Umar sendiri sebagai ayahnya. Itulah buktinya lagi bahwa kesabaran dapat menjanjikan sejuta kesenangan di hari depan, yang tidak pernah terlintas di benak manusia. Semua barangkali karena manusia hanya mampu melihat segala yang kasat mata, sementara kaca mata Ilahi lebih tajam dari apa yang ada di sisi manusia. Disitulah juga letak ‘ibrah (pelajaran) bagi kita semua. Kita tentunya ingat pada suatu kaidah yang mengatakan bahwa al ‘ibratu bi ‘umum al lafdzi la bikhushush al sababi
; pelajaran dilihat dari generalisasi lafadznya, bukan dari spesifikasi sebab yang terjadi.

Ya, ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua kaum muslimin. Bahkan bagi semua lapisan nilai-nilai fitrah kemanusiaan (humanisme) umumnya, yang kerap kali didengung-dengungkan oleh komunitas moderen. Lihatlah, bagaiamana masyarakat Islam merasa bertanggungjawab sekali terhadap kondisi masyarakat dalam strata sosial apapun, sampai kondisi ditinggalnya sang istri oleh sang suami atau sebaliknya. Barangkali, kondisi semacam ini dalam jangkauan undang-undang masyarakat moderen, tanggung jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada modin atau kantor urusan agama. Lihatlah masyarakat Islam percontohan generasi pertama ini. Lihatlah bagaimana Rasulullah juga ikut campur dalam permasalahan ini. Bahkan berusaha mencarikan solusi yang tepat terhadap permasalahan ini.

Semua berangkat dari kesadaran bahwa bangunan masyarakat tidak akan terjalin kokoh kalau tidak dimulai dari bangunan keluarga yang shalih. Dan manusia yang paling bertanggung jawab terhadap kecemerlangan generasi pertama ini adalah Rasulullah SAW. Maka apapun yang terjadi, beliaulah yang pertama kali berani mengorbankan segala kepentingan pribadinya. Pesan Rasulullah senantiasa terngiang di telinga sayyidah Aisyah ketika beliau berkata, “Telah lewat masa tidur kita wahai Aisyah.” Ini menunjukkan sikap Rasulullah yang sangat agung, dengan mendahulukan kepentingan ummat dari kepentingan pribadi. Itulah makanya, berdasar perintah Allah, akhirnya Rasulullah memperistri Hafshah ra. Dari sinilah Hafshah mendapat semangat hidup yang prima, karena didampingi oleh manusia yang paling mulia; Rasulullah SAW.

Semangat hidup tersebut sangat nampak sekali setelah beliau hidup di tengah-tengah rumah Rasulullah SAW. yang dibuktikan dengan potensi iman, akhlak dan akal yang sangat dibanggakan. Sebagaimana yang makruf, bahwa rumah Rasulullah adalah rumah kenabian. Rumah Rasulullah adalah rumah ilmu. Rumah Rasulullah adalah rumah Al Quran. Maka istri-istri nabi senantiasa menghidupkan karakter kehidupan rumah Rasulullah dengan semangat ilmu, semangat ibadah dan semangat amal yang tinggi tersebut.

Bahkan diantara istri-istri nabi mempunyai kelebihan-kelebihan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Hafsah sendiri terkenal sebagai sahabiah yang terkenal banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW, hingga wafatnya. Bahkan diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar sendiri yang selalu meniru segala jejak dan amal Rasululllah, selalu menjadikan Hafshah sebagai rujukan, tempat bertanya tentang hadits yang beliau tidak ketahui. Dari segi ibadahnya sahabiah Hafshah ini terkenal dengan julukan al shawwamah al qawwamah (yang senantiasa puasa dan bangun malam). (Lihat al Ishabah fi al Tamyiz al Shahabah:4/265).

Ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, pada awal kekhalifahan beliau terjadi fenomena kemurtadan yang cukup riskan, terutama mereka yang belum kuat imannya.. Bahkan mengganggu stabilitas masyarakat Islam yang baru ditinggal oleh Rasulullah SAW. Di daerah Nejed dan Yaman banyak kaum muslimin yang melepaskan diri dari keislamannya dan menolak membayar jizyah. Maka diutuslah pasukan untuk menyelesaikan permasalahan ini oleh Abu Bakar . Dan terjadilah peperangan yang cukup hebat, setelah beberapa peringatan yang disampaikan kepada mereka agar kembali kepada Islam.

Tentara Islam yang ikut dalam operasi ini mereka banyak dari para penghafal Al Quran. Dalam peperangan ini telah gugur sebanyak 70 sahabat penghafal Al-Quran. Bahkan dalam suatu riwayat diceritakan bahwa sebelum peperangan itu terjadi, telah gugur para penghafal Al Quran dengan jumlah yang sama ketika di Bi’ru Ma’unah, dekat kota Madinah. Maka dari itu Umar ra. khawatir kalau sahabat para penghafal Al Quran yang lain, yang masih hidup, juga akan gugur. Kemudian beliau datang kepada Abu Bakar ra. memusyawarahkan hal ini. Umar mengusulkan agar Al Quran yang ada dikumpulkan, demi menjaga kemusnahan.

Dalam pengumpulan Al Quran ini sahabat yang bertanggung jawab adalah Zaid bin Tsabit. Ia bekerja sangat teliti dan hati-hati. Dan, terkumpullah Al Quran tersebut dalam satu mushaf. Mushaf tersebut akhirnya dipercayakan pemeliharaannya kepada sahabiah Hafshah ra., yang akhirnya dikenal dengan nama mushaf Hafshah. Beliaulah sang pemelihara Al Quran, selama 10 tahun hingga datang masa Utsman ra menjabat sebagai khalifah. Pada masa Utsman mushaf Hafshah diperbanyak kembali dan disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaan kaum muslimin untuk menyatukan bacaan.

Begitu besarnya peran Hafshah terhadap ummat Islam. Dan begitu agungnya nilai kesabaran dan keteguhannya, hingga membawa beliau kepada kedudukan yang sungguh sangat mulia; sebagai pendamping Rasululullah (tergolong dari istri nabi yang kelima selain Ummi Habibah, Ummi Salmah, Aisyah dan Saudah binti Zam’ah), sebagai sumber rujukan ilmu dan sebagai pemelihara Al Quran. Dan benar, bahwa hasil dari kesabaran lebih manis dari madu (ahla min al’asal) meskipun rasa awalnya lebih pahit dari bratawali. Wallahu yahdi ila sawa al sabil. wahuwa ahkam wa ‘alam.

Zainab Al Kubra R.A. – Cucu Wanita Rasulullah yang Tabah

ZAINAB AL KUBRA R.A. , Seorang wanita cucu Rasulullah SAW, yang begitu tabah dan tetap tegar menghadapi ujian dan cobaan, demi kemuliaan keturunan Rasulullah SAW.
Menulis tentang Sitti Fatimah Azzahra dengan meninggalkan begitu saja kedua puterinya, rasanya memang kurang adil. Apalagi kalau yang dibicarakan itu menyangkut puterinya yang bernanna Zainab Al-Kubra. Ia tercatat dalam sejarah Islam sebagai wanita yang tabah dan gagah berani Seperti diketahui, di samping kedua puteranya yang termasyhur itu, dalam perkawinannya dengan Imam Ali r.a., Sitti Fatimah Azzahra juga diberkahi oleh Allah s.w.t. dengan dua orang puteri. Mereka itu adalah Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash-Sugra. Bersama dengan Al-Hasan dan Al-Husain r.a., kedua wanita itu sudah sejak masa anak-anak ditinggalkan untuk selamalamanya oleh ibundanya. Dalam usia yang masih muda sekali ini, sesaat sebelum wafat Sitti Fatimah r.a. telah berpesan khusus kepada Zainab Al-Kubra agar ia menjaga baik-baik kedua saudara lelakinya itu.

Memang, beban yang terberat bagi Sitti Fatimah Azzahra sebelum meninggal dunia rupanya adalah keempat anaknya yang masih kecil-kecil itu. Dikisahkan bahwa sesaat sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir Sitti Fatimah r.a. tak dapat menahan kepedihan hatinya. Ia harus memenuhi panggilan Ilahi pada usia yang begitu muda, 28 tahun. Sedangkan anak-anaknya belum satu pun yang mencapai usia sepuluh tahun.
Sesudah itu pada usia masih remaja, bahkan masih anak-anak, Zainab Al-Kubra sudah diserahi tanggung jawab untuk menjaga adik-adik dan merawat kakak-kakaknya. Tidak banyak yang bisa diungkapkan mengenai peran masa anak-anak yang dilakukan oleh kedua puteri Sitti Fatimah Azzahra itu. Riwayat-riwayat hanya mengungkapkan kehidupan dan perkembangan Al Hasan dan Al Husain r.a. Hal ini tidak perlu diherankan, karena dunia kehidupan Arab yang keras jarang sekali mengedepankan peran seorang wanita. Jadi walaupun Zainab Al-Kubra dan Zainab Ash Sugra termasuk dalam lingkungan keluarga sangat mulia nama mereka jarang sekali ditonjolkan.

Baru beberapa tahun kemudian setelah Zainab Al Kubra meningkat remaja, maka peranannya diungkapkan oleh para periwayat. Sejarah akhirnya mencatat namanya dan mengakui peran penting yang dijalankan oleh Zainab Al Kubra dalam melindungi kesinambungan generasi penerus keluarga RASUL Allah s a w. Bagaimana pun juga, walau Zainab Al Kubra seorang wanita, tetapi ada darah kemuliaan dan kesucian yang mengalir dalam tubuhnya. Sejak masa anak-anak ia telah turut memikul tanggung jawab kehidupan rumahtangga Imam Ali r.a. yang ditinggal wafat oleh Sitti Fatimah Azzahra. Zainab Al Kubra dengan tekun dan tabah melaksanakan amanat yang ditinggalkan oleh bundanya sesaat sebelum wafat. Dengan penuh tanggung jawab dirawatnya adik-adik dan kedua kakaknya itu. Boleh dikatakan ia tak pernah berpisah jauh dari kedua saudara lelakinya itu.

Tidak ada pengungkapan mengenai kelanjutan kehidupan Zainab Ash-Sugra. Sedangkan tentang Zainab Al Kubra justru makin menonjol setelah Al-Husain r.a. gugur di Karbala. Wanita inilah pada usia sudah lebih setengah abad tanpa mengebal gentar sedikit pun sedia mati untuk menyelamatkan keturunan langsung Rasul Allah s.a.w. Ia menjadi saksi hidup tentang siksaan yang dialami oleh saudara lelakinya itu sampai Al-Husain r.a. meninggal dengan gagah berani.

Sa’ad Bin Abi Waqqash – Singa yang Menyembunyikan Kukunya

Berita yang datang secara beruntun menyatakan serangan licik yang dilancarkan oleh angkatan bersenjata Persi terhadap Kaum Muslimin, amat menggelisahkan hati Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab… Disusul kemudian dengan berita, tentang pertempuran Jembatan, di mana empat ribu orang pihak Kaum Muslimin gugur sebagai syuhada dalam waktu sehari, begitu pun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang Irak terhadap perjanjian-perjanjian, yang mereka perbuat, serta ikrar yang telah mereka akui…, menyebabkan khalifah mengambil keputusan untuk pergi dan memimpin sendiri tentara Islam dalam perjuangan bersenjata yang menentukan, melawan Persi.

Bersama beberapa orang shahabat dan dengan menunggang kendaraan, berangkatlah ia dengan meninggalkan Ali Karamallahu Wajhah di Madinah sebagai wakilnya. Tetapi belum berapa jauh dari kota sebagian anggota rombongan berpendapat dan mengusulkan agar ia kembali dan memilih salah seorang di antara para shahabat untuk melakukan tugas tersebut. Usul ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin ‘Auf yang menyatakan bahwa menyia-nyiakan nyawa Amirul Mu’minin dengan cara seperti ini, sementara Islam sedang menghadapi hari-harinya yang menentukan, adalah perbuatan yang keliru. Umar pun menyuruh Kaum Muslimin berkumpul untuk bermusyawarah dan diserukanlah “Asshalata jami’ah”; sementara Ali dipanggil datang; yang bersama beberapa orang penduduk Madinah berangkat menuju tempat perhentian Amirul Mu’minin. Akhirnya tercapailah persetujuan sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, dan peserta musyawarah memutuskan agar Umar kembali ke Madinah dan memilih seorang panglima lain yang akan memimpin peperangan menghadapi Persi. Amirul Mu’minin tunduk pada keputusan ini, lalu menanyakan kepada para shahabat, siapa kiranya orang yang akan dikirim ke Irak itu. Mereka sama tertegun dan berfikir.

Tiba-tiba berserulah Abdurrahman bin ‘Auf, “Saya telah menemukannya.” “Siapa dia?” tnya Umar. Ujar Abdurrahman, “Singa yang menyembunyikan kukunya, yaitu Sa’ad bin Malik az Zuhri!” Pendapat ini disokong sepenuhnya oleh Kaum Muslimin, dan Amirul Mu’minin meminta datang Sa’ad bin Malik az-Zuhri yang tiada lain Sa’ad bin Abi Waqqash. Lalu diangkatnya sebagai Amir atau Gubernur Militer di Irak yang bertugas mengatur pemerintahan dan sebagai panglima tentara.
Nah, siapakah dia singa yang menyembunyikan kukunya itu? Dan siapakah dia yang bila datang kepada Rasulullah ketika berada di antara shahabat-shahabatnya; akan disambutnya dengan ucapan selamat datang sambil bergurau, sabdanya: “Ini dia pamanku…! Siapa orang yang punya paman seperti pamanku ini?” Itulah dia Sa’ad bin Abi Waqqash! Kakeknya ialah Uhaib, putera dari Manaf yang menjadi paman dari Aminah ibunda dari Rasulullah saw.

Sa’ad masuk Islam selagi berusia l7 tahun, dan keislamannya termasuk yang terdahulu di antara para shahabat. Hal ini pernah diceritakannya sendiri, katanya, “Pada suatu saat saya beroleh kesempatan termasuk tiga orang pertama yang masuk Islam.” Maksudnya bahwa ia adalah salah seorang di antara tiga orang yang paling dahulu masuk Islam.
Maka pada hari-hari pertama Rasulullah menjelaskan tentang Allah Yang Esa dan tentang Agama baru yang dibawanya, dan sebelum beliau mengambil rumah al-Arqam untuk tempat pertemuan dengan shahabat-shahabatnya yang telah mulai beriman, Sa’ad bin Abi Waqqash telah mengulurkan tangan kanannya untuk bai’at kepada Rasulullah saw.

Sementara itu buku-buku tarikh dan riwayat menceritakan kepada kita bahwa ia termasuk salah seorang yang masuk Islam bersama dan atas hasil usaha Abu Bakar. Boleh jadi ia menyatakan keislamannya secara terang-terangan bersama orang-orang yang dapat diyakinkan oleh Abu Bakar, yaitu Utsman bin ‘Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa ia lebih dulu masuk Islam secara sembunyi-sembunyi.
Banyak sekali keistimewaan yang dimiliki oleh Sa’ad ini, yang dapat ditonjolkan dan dibanggakannya. Tetapi di antara semua itu dua hal penting yang selalu menjadi dendang dan senandungnya. Pertama, bahwa dialah yang mula-mula melepaskan anak panah dalam membela Agama Allah, dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan kedua, bahwa dia merupakan satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Bersabdalah Rasulullah saw di waktu perang Uhud, “Panahlah hai Sa’ad! Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu.”

Memang! Kedua ni’mat besar ini selalu menjadi dendangan Sa’ad buah syukurnya kepada Allah. Katanya, “Demi Allah sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah..!” Dan berkata pula Ali bin Abi Thalib, “Tidak pernah saya dengar Rasulullah menyediakan ibu bapaknya sebagai jaminan seseorang, kecuali bagi Sa’ad. Saya dengar beliau bersabda waktu Perang Uhud, “Panahlah, hai Sa’ad Ibu bapakku menjadi jaminan bagimu.”
Sa’ad termasuk seorang kesatria berkuda Arab dan Muslimin yang paling berani. Ia mempunyai dua macam senjata yang amat ampuh, yaitu panahnya dan do’anya. Jika ia memanah musuh dalam peperangan, pastilah akan mengenai sasarannya, dan jika ia menyampaikan suatu permohonan kepada Allah pastilah dikabulkan-Nya. Menurut Sa’ad sendiri dan juga para shahabat- nya, hal itu adalah disebabkan do’a Rasulullah juga bagi pribadinya. Pada suatu hari ketika Rasulullah menyaksikan dari Sa’ad sesuatu yang menyenangkan dan berkenan di hati beliau, diajukannyalah do’a yang maqbul ini, “Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya, dan kabulkanlah do’anya.”

Demikianlah ia terkenal di kalangan saudara-saudara dan handai tolannya bahwa do’anya tak ubah bagai pedang yang tajam. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh Sa’ad sendiri, hingga ia tak hendak berdo’a bagi kerugian seseorang, kecuali dengan menyerahkan urusannya kepada Allah Ta’ala. Sebagai contoh ialah peristiwa yang diriwayatkan oleh ‘Amir bin Sa’ad.
“Sa’ad mendengar seorang laki-laki memaki ‘Ali, Thalhah dan Zubair. Ketika dilarangnya, orang itu tak hendak menurut. Maka katanya, ‘Kalau begitu saya do’akan kamu kepada Allah’ Ujar laki-laki itu, ‘Rupanya kamu hendak menakut-nakuti aku, seolah-olah kamu seorang Nabi.’ Maka Sa’ad pun pergi wudlu dan shalat dua raka’at. Lalu diangkatlah kedua tangannya, katanya, ‘Ya Allah, kiranya menurut ilmu-Mu laki-laki ini telah memaki segolongan orang yang telah beroleh kebaikan dari-Mu, dan tindakan mereka itu mengundang amarah murka-Mu, maha mohon dijadikan hal itu sesuatu pertanda dan suatu pelajaran…!'”

“Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari salah satu pekarangan rumah, muncul seekor unta liar dan tanpa dapat dibendung masuk ke dalam lingkungan orang banyak seolah-olah ada yang dicarinya. Lalu diterjangnya laki-laki tadi dan dibawanya ke bawah kakinya, serta beberapa lama menjadi bulan-bulanan injakan dan sepakannya hingga akhirnya tewas menemui ajalnya..!”
Kenyataan ini pertama kali mengungkapkan kebeningan jiwa, kebenaran iman dan keikhlasannya yang mendalam. Begitu pula Sa’ad, jiwanya adalah jiwa merdeka, keyakinannya keras membaja serta keikhlasannya dalam dan tidak bernoda. Dan untuk menopang ketaqwaannya ia selalu memakan yang halal, dan menolak dengan keras setiap dirham yang mengandung syubhat.

Dalam kehidupan akhirnya Sa’ad termasuk Kaum Muslimin yang kaya dan berharta. Waktu wafat, ia meninggalkan kekayaan yang tidak sedikit. Tapi kalau biasanya harta banyak dan harta halal jarang sekali dapat terhimpun; maka di tangan Sa’ad hal itu telah terjadi. Ia dilimpahi harta yang banyak, yang baik dan yang halal sekaligus. Di samping itu ia dapat dijadikan seorang mahaguru pula dalam soal membersihkan harta. Dan kemampuannya dalam mengumpulkan harta dari barang bersih lagi halal, diimbangi bahkan mungkin diatasi oleh kesanggupan menafqahkannya di jalan Allah.

Ketika Hajji Wada’, Sa’ad ikut bersama Raisulullah saw. Kebetulan ia jatuh sakit, maka Rasulullah datang menengoknya. Tanya Sa’ad, “Wahai Rasulullah, saya punya harta dan ahli warisku hanya seorang puteri saja. Bolehkah saya shadaqahkan dua pertiga hartaku?” “Tidak,” jawab Nabi. “Kalau begitu, separohnya?” tanya Sa’ad pula. “Jangan,” ujar Nabi. “Jadi, sepertiganya?” “Benar,” ujar Nabi, “Dan sepertiga itupun sudah banyak. Lebih baik anda meninggalkan ahli waris dalam keadaan mampu daripada membiarkannya dalam keadaan miskin dan menadahkan tangannya kepada orang lain. Dan setiap nafqah yang anda keluarkan dengan mengharap keridlaan Allah, pastilah akan diberi ganjaran, bahkan walau sesuap makanan yang anda taruh di mulut isteri anda!” Beberapa lama Sa’ad hanya mempunyai seorang putri. Tetapi setelah peristiwa di atas, ia beroleh lagi beberapa orang putera.

Karena takutnya kepada Allah, Sa’ad sering menangis. Jika didengarnya Rasulullah berpidato dan menasihati ummat, air matanya bercucuran hingga membasahi haribaannya. Ia adalah seorang shahabat yang diberi ni’mat taufiq dan diterima ibadahnya. Pada suatu hari ketika Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabat, tiba-tiba beliau menatap dan menajamkan pandangannya ke arah ufuk bagai seseorang yang sedang menunggu bisikan atau kata-kata rahasia. Kemudian beliau menoleh kepada para shahabat, sabdanya, “Sekarang akan muncul di hadapan tuan-tuan seorang laki-laki penduduk surga.”

Para shahabat pun nengok kiri kanan dan ke setiap arah untuk melihat siapakah kiranya orang berbahagia yang beruntung beroleh taufiq dan karunia itu? Dan tidak lama antaranya muncullah di hadapan mereka Sa’ad bin Abi Waqqash. Selang beberapa lama, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash datang kepadanya meminta jasa baiknya dan mendesak agar menunjukkan kepadanya jenis ibadah dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang menyebabkannya berhak menerima ganjaran tersebut yang telah diberitakan sehingga menjadi daya tarik untuk mengerjakannya. Maka ujar Sa’ad, “Tak lebih dari amal ibadah yang biasa kita kerjakan, hanya saja saya tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap seorangpun di antara Kaum muslimin!”

Nah, itulah dia Singa yang Selalu Menyembunyikan Kukunya yang diungkapkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Dan inilah tokoh yang dipilih Umar untuk memimpin pertempuran Qadisiyah yang dahsyat itu! Kenapa memilihnya untuk melaksanakan tugas yang paling rumit yang sedang dihadapi Islam dan Kaum Muslimin, karena keistimewaannya terpampang jelas di hadapan Amirul Mu’minin.

• Ia adalah orang yang maqbul do’anya, jika ia memohon diberi kemenangan oleh Allah, pastilah akan dikabulkan-Nya.
• Ia seorang yang hati-hati dalam makan, terpelihara lisan dan suci hatinya.
• Salah seorang anggota pasukan berkuda di perang Badar, di perang Uhud, pendeknya di setiap perjuangan bersenjata yang diikutinya bersama Rasulullah saw.
• Dan satu lagi yang tak dapat dilupakan oleh Umar, suatu keistimewaan yang tak dapat diabaikan harga, nilai dan kepentingannya, serta harus dimiliki oleh orang yang hendak melakukan tugas penting, yaitu kekuatan dan ketebalan iman.

Umar tidak lupa akan kisah Sa’ad dengan ibunya sewaktu ia masuk Islam dan mengikuti Rasulullah. Ketika itu segala usaha ibunya untuk membendung dan menghalangi puteranya dari Agama Allah mengalami kegagalan. Maka segala jalan yang tak dapat tidak, pasti akan melemahkan semangat Sa’ad dan akan membawanya kembali ke pangkuan agama berhala dan kepada kaum kerabatnya. Wanita itu menyatakan akan mogok makan dan minum sampai Sa’ad bersedia kembali ke agama nenek moyang dan kaumnya. Rencana itu dilaksanakannya dengan tekad yang luar biasa, ia tak hendak menjamah makanan atau minuman hingga hampir menemui ajalnya. Tetapi Sa’ad tidak terpengaruh oleh hal tersebut, bahkan ia tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual Agama dan keimanannya dengan sesuatupun, bahkan walau dengan nyawa ibunya sekalipun.

Ketika keadaan ibunya telah demikian gawat beberapa orang keluarganya membawa Sa’ad kepadanya untuk menyaksikannya kali yang terakhir, dengan harapan hatinya akan menjadi lunak jika melihat ibunya dalam sekarat. Sesampainya di sana, Sa’ad menyaksikan suatu pemandangan yang amat menghancurkan hatinya yang bagaikan dapat menghancurkan baja dan meluluhkan batu karang. Tapi keimanannya terhadap Allah dan Rasul mengatasi baja dan batu karang mana pun juga. Didekatkan wajahnya ke wajah ibunya dan dikatakannya dengan suara keras agar kedengaran olehnya.

“Demi Allah ketahuilah wahai ibunda, seandainya bunda mempunyai seratus nyawa, lalu ia keluar satu per satu, tidaklah anak anda akan meninggalkan Agama ini walau ditebus dengan apa pun juga! Maka terserahlah kepada bunda, apakah bunda akan makan atau tidak!”
Akhirnya ibunya mundur teratur, dan turunlah wahyu menyokong pendirian Sa’ad serta mengucapkan selamat kepadanya, sebagai berikut, “Dan seandainya kedua orang tua memaksamu untuk mempersekutukan Aku, padahal itu tidak sesuai dengan pendapatmu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya!” (Luqman: l5)

Nah, tidakkah ini betul-betul singa yang menyembunyikan kukunya? Jika demikian halnya, pantaslah Amirul Mukminin dengan hati tenang memancangkan panji-panji Qadisiyah ditangan kanannya, dan mengirimnya untuk menghalau pasukan Persi yang tidak kurang jumlahnya dari seratus ribu prajurit yang terlatih dan diperlengkapi dengan senjata dan alat pertahanan yang paling ditakuti dunia waktu itu, dipimpin oleh otak-otak perang yang paling jempol, dan ahli-ahli siasatnya yang paling cerdik dan licik.

Memang, kepada tentara musuh yang menakutkan inilah Sa’ad datang dengan membawa tigapuluh ribu mujahid tidak lebih, di tangan masing-masing tergenggam panah dan tumbak. Hanya semata-mata panah dan tumbak, tetapi dalam dada menyala kemauan dari Agama baru, yang membuktikan keimanan, kehangatan, serta kerinduan yang luar biasa terhadap maut dan mati syahid!
Dan kedua pasukan itupun bertemulah. Tetapi belum, mereka belum lagi bertempur. Di sana Sa’ad masih menunggu bimbingan dan pengarahan dari Amirul Mu’minin Umar. Inilah surat Umar yang memerintahkannya segera berangkat ke Qadisiyah, yang merupakan pintu gerbang memasuki Persi, ditancapkannya dalam hatinya kalimat berharga yang semuanya merupakan petunjuk dan cahaya.

“Wahai Sa’ad bin Wuhaib! Janganlah anda terpedaya di hadapan Allah, mentang-mentang dikatakan bahwa anda adalah paman dan shahabat Rasulullah! Sungguh, tak ada hubungan keluarga antara seseorang dengan Allah kecuali dengan mentaati-Nya! Semua manusia baik yang mulia maupun yang hina, pada pandangan Allah serupa tidak berbeda. Allah Tuhan mereka, sedang mereka hamba-Nya. Mereka berlebih berkurang dalam kesehatan, dan akan beroleh karunia yang tersedia di sisi Allah dengan ketaatan.”

“Maka perhatikanlah segala sesuatu yang pernah anda lihat pada Rasulullah saw. semenjak ia diutus sampai meninggalkan kita dan pegang teguhlah, karena itulah yang harus diikuti!” Kemudian katanya pula, “Tulislah kepadaku segala hal-ikhwal tuan-tuan, bagaimana kedudukan tuan-tuan, dan di mana pula posisi musuh terhadap tuan-tuan, terangkan sejelas-jelasnya, hingga seolah-olah aku menyaksikan sendiri keadaan tuan-tuan.” Sa’ad pun menulis surat kepada Amirul Mu’minin dan menuliskan segala sesuatu, hingga hampir saja diterangkannya tempat dan posisi setiap prajurit secara terperinci.

Sa’ad telah sampai di Qadisiyah, sementara seluruh tentara dan rakyat Persia berhimpun, sesuatu hal yang tak pernah mereka lakukan selama ini. Kendali pimpinannya dipegang oleh panglimanya yang ulung dan paling terkenal, yaitu Rustum. Sebagai balasan surat dari Sa’ad yang baru dikirimnya, Amirul Mukminin menulis.
“Sekali-kali janganlah anda gentar mendengar berita dan persiapan mereka! Bermohonlah kepada Allah dan tawakkallah kepada-Nya! Dan kirimlah sebagai utusan, orang-orang yang cerdas dan tabah untuk menyeru mereka ke jalan Allah. Dan tulislah surat kepadaku setiap hari.” Kembali Sa’ad mengirim surat kepada Amirul Mu’minin, menyampaikan bahwa Rustum telah menduduki Sabath dengan mengerahkan pasukan gajah dan berkudanya dan mulai bergerak menuju Kaum Muslimin. Balasan dari Umar datang yang isinya memberi petunjuk dan menabahkan hati Sa’ad.

Sa’ad bin Abi Waqqash seorang anggota pasukan berkuda yang ulung dan gagah berani, paman Rasulullah dan termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam, pahlawan dari berbagai perjuangan bersenjata, pancungan dan panahnya yang tak pernah meleset, sekarang tampil mengepalai tentaranya dalam menghadapi salah satu peperangan terbesar dalam sejarah, tak ubahnya bagi seorang prajurit biasa! Baik kekuatan maupun kedudukannya sebagai pemimpin, tidak mampu mempengaruhi dan memperdayakan dirinya untuk mengandalkan pendapatnya semata.

Tetapi ia selalu menghubungi Amirul Mukminin di Madinah yang jaraknya demikian jauh, dengan mengirimnya sepucuk surat tiap hari untuk bermusyawarah, dan bertukar pendapat, padahal pertempuran besar itu telah hampir berkecamuk. Sebabnya tidak lain, ialah karena Sa’ad ma’lum bahwa di Madinah, Umar tidaklah mengemukakan pendapatnya semata atau mengambil keputusan seorang diri, tetapi tentulah ia akan bermusyawarah dengan orang-orang di sekelilingnya dan dengan shahabat-shahabat utama Rasulullah. Dan bagaimana juga gawatnya suasana perang, Sa’ad tak hendak kehilangan baroqah dan manfa’atnya musyawarah, baik bagi dirinya maupun bagi tentaranya, apalagi ia tahu benar bahwa di pusat komando, itu pimpinannya langsung dipegang Umar al-Faruk, pembangkit ilham atau inspirasi agung.

Pesan dari Umar dilaksanakan oleh Sa’ad. Dikirimnya serombongan di antara shahabat-shahabatnya sebagai utusan kepada Rustum panglima tentara Persia untuk menyerunya iman kepada Allah dan Agama Islam. Soal jawab di antara mereka dengan Panglima Persi itu berlangsung lama, dan akhirnya mereka tidak diperbolehkan lagi berbicara, karena salah seorang di antara mereka mengatakan.
“Sesungguhnya Allah telah memilih kami untuk membebaskan hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dari pemujaan berhala kepada pengabdian terhadap Allah Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia kepada keluasaannya, dan dari kedhaliman pihak penguasa kepada keadilan Islam. Maka siapa-siapa yang bersedia menerima itu dari kami, kami terima pula kesediaannya dan kami biarkan mereka. Tetapi siapa yang memerangi kami, kami perangi pula mereka hingga kami mencapai apa yang telah dijanjikan Allah.”

“Apa janji yang telah dijanjikan Allah itu?” tanya Rustum. Jawab pembicara, “Surga bagi kami yang mati syahid, dan kemenangan bagi yang masih hidup.” Para utusan kembali kepada panglima pasukan Islam Sa’ad dan menyampaikan bahwa tak ada pilihan lain daripada perang. Dan airmata Sa’ad berlinang-linang. Ia berharap seandainya saat pertempuran itu dapat diundurkan atau dimajukan sedikit waktu. Ketika itu ia sedang sakit parah hingga ia sulit untuk bergerak.
Bisul-bisul bertonjolan di sekujur tubuhnya, hingga ia tak dapat duduk, apalagi akan menaiki punggung kudanya dan menerjuni pertempuran yang sengit berkuah darah! Seandainya saat pecah perang itu terjadi sebelum ia jatuh sakit, atau sesudah bisul-bisul itu meletus dan sembuh, pastilah ia akan menunjukkan prestasi tinggi. Tetapi tidak, Rasulullah saw telah mengajarkan kepada mereka supaya tidak mengatakan “seandainya”, karena kata kata itu menunjukkan kelemahan, sedang orang Mukmin yang kuat tidak kehabisan akal dan tidak pernah lemah!

Ketika itu bangkitlah singa yang menyembunyikan kukunya itu, lalu berdiri dihadapan tentara menyampaikan pidato dengan tak lupa mengutip ayat mulia berikut ini, “Bismillahirrahmanirrahim. Telah Kami cantumkan dalam Zabur setelah sebelumnya Kami catat dalam (Lauh Mahfudh) peringatan bahwa Bumi itu diwarisi oleh hamba-hambaKu yang shalih.” (Al-Anbiya: l05)

Setelah menyampaikan pidatonya Sa’ad melakukan shalat dhuhur bersama tentaranya, kemudian sambil menghadap kepada mereka, ia mengucapkan takbir empat kali, “Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar.” Alampun gemuruh dan bergema dengan suara takbir, dan sambil mengulurkan tangannya kemuka bagai anak panah yang sedang melepas laju menunjuk ke arah musuh, Sa’ad berseru kepada anak buahnya, “Ayolah maju dengan barkat dari Allah!”
Dengan menabahkan diri menanggung sakit yang dideritanya, Sa’ad naik ke anjung rumah yang ditinggalinya dan yang diambilnya sebagai markas komandonya. Sambil telungkup di atas dadanya yang dialasi bantal sementara pintu anjung itu terbuka lebar. Sedikit saja serangan dari orang-orang Persi ke rumah itu, akan menyebabkan panglima Muslimin jatuh ke tangan mereka, hidup atau mati. Tetapi ia tidak gentar dan tidak merasa takut. Bisul-bisul pecah berletusan, tetapi ia tidak perduli, hanya terus berseru dan bertakbir serta mengeluarkan perintah kepada anak buahnya.

“Majulah ke kanan…” dan kepada yang lain, “Tutup pertahanan sebelah kiri… Awas di depanmu hai Mughirah, ke belakang mereka hai Jarir.., pukul hai Nu’man…, serbu hai Asy’ats.., hantam hai Qa’qa’…, majulah semua hai shahabat-shahabat Muhammad saw…!” Suaranya yang berwibawa penuh dengan kemauan dan semangat baja, menyebabkan masing-masing prajurit itu berubah menjadi kesatuan yang utuh.
Maka berjatuhanlah tentara Persi, tak ubah bagai lalat-lalat yang berkaparan, dan rubuhlah bersama mereka keberhalaan dan pemujaan api! Dan setelah melihat tewasnya panglima besar dan prajurit-prajurit pilihan mereka, sisa-sisa musuh tunggang langgang melarikan diri. Mereka dikejar dan dihalau oleh tentara Islam sampai ke Nahawand lalu ke Mada-in. Ibu kota itu mereka masuki untuk merampas kursi singgasana dan mahkota Kisra yang menjadi ambang keberhalaan.

Di pertempuran Mada-in Sa’ad mencapai prestasi tinggi. Pertempuran ini terjadi kira-kira dua setengah tahun setelah pertempuran Qadisiyah, sementara perang berlangsung secara kecil-kecilan antara Persi dan Kaum Muslimin. Akhirnya semua sisa tentara Persi ini berhimpun di kota-kota Mada-in saja, bersiap-siap untuk menghadapi pertempuran terakhir dan menentukan.
Sa’ad menyadari bahwa situasi medan dan musim menguntungkan pihak penentang Islam, karena antara pasukannya dan Mada-in terbentang sungai Tigris yang lebar, alirannya sangat deras karena sedang banjir meluap-luap. Walaupun demikian dengan teguh hati ia tetap memutuskan untuk memulai serangan umum itu pada waktu itu juga, dengan perhitungan bahwa mental pasukan musuh sedang menurun.

Nah, di antaranya peristiwa inilah yang membuktikan bahwa, Sa’ad betul-betul sebagai dilukiskan oleh Abdurrahman bin ‘Auf, singa yang menyembunyikan kukunya. Keimanan Sa’ad dan kepekatan hatinya akan tampak menonjol ketika menghadapi bahaya, hingga dapat mengatasi barang mustahil berkat keberanian yang luar biasa.
Demikianlah Sa’ad mengeluarkan perintah kepada pasukannya, untuk menyeberangi sungai Tigris, dan disuruhnya menyelidiki yang dangkal dari sungai yang dapat dijadikan tempat penyeberangan ini. Dan akhirnya mereka menemukan tempat tersebut, walaupun untuk menyeberanginya tidak luput dari bahaya yang mengancam. Sebelum tentara memulai penyeberangan, panglima besar Sa’ad menyadari pentingnya pengamanan pinggiran seberang sungai yang hendak dicapai, yakni daerah yang ada dalam kekuasaan dan pengawasan musuh.

Ketika itu disiapkannya dua kompi tentara, Pertama yang dinamakannya Kompi Sapu Jagat, sebagai komandannya diangkatnya ‘Ashim bin ‘Amr. Dan yang kedua disebutnya Kompi Gerak Cepat, sebagai pemimpinnya diangkatnya Qa’qa bin Amr. Adapun tugas dari kedua kompi ini ialah menerjuni bahaya dan menetas jalan yang aman menuju pinggir sebelah musuh dan melindungi induk pasukan yang akan mengiringi mereka dari belakang.
Dan mereka telah menunaikan tugas itu dengan kemahiran yang mena’jubkan. Hingga siasat yang dilakukan Sa’ad ketika itu mencapai hasil yang mengagumkan bagi para ahli sejarah, bahkan bagi diri Sa’ad bin Abi Waqqash sendiri. Salman al-Farisi, yakni teman dan kawan seperjuangannya dalam pertempuran itu, juga hampir-hampir tak percaya akan hasil yang telah dicapai. Ia menepukkan kedua belah tangannya karena takjub dan bangga, katanya.

“Agama Islam masih baru. Tetapi lautan telah dapat mereka taklukkan sebagai halnya daratan telah mereka kuasai. Demi Allah yang nyawa Salman berada dalam tangan-Nya, pastilah mereka akan dapat keluar dengan selamat daripadanya berbondong-bondong, sebagaimana mereka telah memasukinya berbondong-bondong!”
Dan benarlah apa yang dikatakannya itu. Sebagaimana mereka telah terjun ke dalam sungai gelombang demi gelombang, demikianlah pula mereka keluar dari dalamnya dan mencapai seberang sana gelombang demi gelombang pula. Tak seorang pun dari mereka kehilangan prajurit, bahkan tak sedikit pun tentara Persi yang mampu mengunjukkan giginya! Mangkok tempat minumannya seorang prajurit jatuh ke dalam air. Maka ia tak ingin jadi satu-satunya orang yang kehilangan barang waktu penyeberangan itu.

Kepada teman-temannya diserukannya agar menolongnya untuk mendapatkan barang itu kembali. Kebetulan suatu ombak besar melemparkan mangkok itu ke dekat rombongan hingga dapat mereka pungut. Salah satu riwayat tentang sejarah melukiskan bagaimana dahsyatnya suasana ketika penyeberangan sungai Tigris itu, katanya.
“Sa’ad memerintahkan Kaum Muslimin agar membaca, ‘Hasbunallaahu wa ni’mal wakiil – Cukuplah bagi kita Allah, dan Dia-lah sebaik-baik pemimpin.’ Lalu dikerahkanlah kudanya menerjuni sungai yang diikuti oleh orang-orangnya, sehingga tak seorang pun di antara anggota pasukan yang tinggal di belakang. Maka berjalanlah mereka dalam air, tak ubah bagai berjalan di darat juga, hingga dari pinggir yang satu ke pinggir lainnya telah dipenuhi oleh prajurit, dan permukaan air tak keliatan lagi disebabkan amat banyaknya anggota angkatan berkuda serta pasukan pejalan kaki.”

Orang-orang bercakap-cakap sesamanya ketika berada dalam air, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap di darat. Sebabnya tidak lain karena mereka merasa aman tenteram, serta percaya akan ketentuan Allah dan pertolongan-Nya, akan janji dan bantuan-Nya. Tatkala Sa’ad diangkat Umar sebagai amir wilayah Irak, ia mulai melakukan pembangunan dan perluasan kota. Kota Kufah diperbesar, dan diumumkanlah hukum Islam serta dilaksanakan di daerah yang luas dan lebar itu.
Pada suatu hari rakyat Kufah mengadukan Sa’ad sebagai wali negerinya kepada Amirul Mukminin, rupanya mereka sedang dipengaruhi oleh tabi’at yang mudah dihasut, cepat resah, gelisah dan suka memberontak, hingga mereka mengemukakan tuduhan yang bukan-bukan dan mentertawakan. Kata mereka, “Sa’ad tidak baik shalatnya…” Mendengar itu Sa’ad hanya tertawa terbahak-bahak, ujarnya, “Demi Allah, yang saya lakukan hanyalah mengerjakan shalat bersama mereka sebagai shalat Rasulullah, yaitu memanjangkan dua raka’at yang mula-mula dan memendekkan dua raka’at yang akhir.”

Sa’ad dipanggil Umar ke Madinah untuk menghadap. Sa’ad tidak marah, bahkan segera dipenuhi panggilan itu secepatnya. Setelah beberapa lama, Umar bermaksud untuk mengembalikannya ke Kufah, tapi sambil tertawa Sa’ad menjawab, “Apakah anda hendak mengembalikan saya kepada kaum yang menuduh bahwa shalat saya tidak baik?” Demikianlah ia memilih tinggal di Madinah.
Ketika Amirul Mukminin dicederai orang, dipilihnyalah enam orang di antara shahabat-shahabat Rasulullah saw yang akan mengurus soal pemilihan khalifah baru, dengan mengemukakan alasan bahwa keenam orang yang dipilihnya itu adalah terdiri dari orang-orang yang diridlai Rasulullah saw sewaktu beliau hendak berpulang ke rahmatullah.

Maka di antara shahabat yang berenam itu terdapatlah Sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan dari kalimat-kalimat Umar yang akhir terdapat kesan bahwa seandainya ia hendak memilih salah seorang di antara mereka, maka pilihannya akan jatuh pada Sa’ad. Sewaktu memberi wasiat dan mengucapkan selamat perpisahan dengan shahabat-shahabatnya, Umar berkata, “Jika khalifah dijabat oleh Sa’ad, demikianlah sebaiknya. Dan seandainya dijabat oleh lainnya, hendaklah ia menjadikan Sa’ad sebagai pendampingnya.”

Sa’ad mencapai usia lanjut dan tibalah saat terjadinya fitnah besar. Sa’ad tak hendak mencampurinya bahkan kepada keluarga dan putera-puteranya dipesankan agar tidak menyampaikan suatu berita pun mengenai hal itu kepadanya. Pada suatu ketika perhatian orang sama-sama tertuju kepadanya, dan anak saudaranya yang bernama Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash datang mendapatkannya, seraya berkata, “Paman, di sini telah siap seratus ribu bilah pedang, yang menganggap bahwa pamanlah yang lebih berhak mengenai urusan khilafah ini!”

Ujar Sa’ad, “Dari seratus ribu bilah pedang itu saya inginkan sebilah pedang saja, jika saya tebaskan kepada orang Mu’min maka takkan mempan sedikit pun juga. Tetapi, bila saya pancungkan kepada orang kafir pastilah putus batang lehernya.” Mendengar jawaban itu anak saudaranya maklum akan maksudnya dan membiarkannya dalam sikap damai dan tak hendak bercampur tangan.
Dan tatkala akhirnya khilafah itu jatuh ke tangan Mu’awiyah dan kendali kekuasaan tergenggam dalam tangannya, ditanya kepada Sa’ad, “Kenapa anda tidak ikut berperang di pihak kami?” Ujarnya, “Saya sedang lewat di suatu tempat yang dilanda taufan berkabut gelap. Maka kataku, ‘Hai Saudara.., hai saudaraku!’ Lalu saya hentikan kendaraan menunggu jalan terang kembali.”

Kata Mu’awiyah, “Bukankah dalam al-Quran tak ada, ‘Hai saudara! hai saudara!’ Hanya firman Allah Ta’ala, ‘
Jika di antara orang-orang Mukmin ada dua golongan yang berbunuhan, maka damaikanlah mereka! Seandainya salah satu di antara kedua golongan itu berbuat aniaya kepada yang lain, maka perangilah yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada perintah Allah,’ (Al-Hujurat: 9)”

“Maka anda bukanlah di pihak yang aniaya terhadap pihak yang benar, dan bukan pula di pihak yang benar terhadap golongan yang aniaya.” Sa’ad menjawab sebagai berikut, “Saya tak hendak memerangi seorang laki-laki (maksudnya Ali) yang mengenai dirinya Rasulullah pernah bersabda, “Engkau di sampingku, tak ubahnya seperti kedudukan Harun di samping Musa, tetapi (engkau bukan Nabi) tak ada lagi Nabi sesudahku!”
Suatu hari pada tahun 54 H, yakni ketika usia Sa’ad telah lebih dari 80 tahun, ia sedang berada di rumahnya di ‘Aqiq, sedang bersiap-siap hendak menemui Allah Ta’ala. Saatnya yang akhir itu diceritakan puteranya kepada kita sebagai berikut, “Kepala bapakku berada di pangkuanku ketika ia hendak meninggal itu. Aku menangis, maka katanya, ‘Kenapa kamu menangis wahai anakku? Sungguh Allah tiada akan menghukumku, dan sesungguhnya aku termasuk salah seorang penduduk surga…!'”

Kekebalan imannya tak tergoyahkan oleh apapun juga, bahkan tidak oleh goncangan maut dan kengeriannya. Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan kabar gembira kepadanya, sedang ia iman dan percaya penuh akan kebenaran Rasulullah saw itu. Jadi apa yang akan ditakutkannya lagi? “Sungguh, Allah tiada akan menyiksaku, dan sungguh aku termasuk penduduk surga…!”
Hanya ia hendak menemui Allah dengan membawa kenang-kenangan yang paling manis dan mengharukan, yang telah menghubungkan dengan Agamanya dan mempertemukan dengan Rasul-Nya. Itulah sebabnya ia memberi isyarat ke arah peti simpanannya, yang ketika mereka buka dan keluarkan isinya, ternyata sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Disuruhlah keluarganya mengafani mayatnya nanti dengan kain itu, katanya.

“Telah kuhadapi orang-orang musyrik waktu perang Badar dengan memakai kain itu dan telah kusimpan ia sekian lama untuk keperluan seperti pada hari ini.” Memang, kain usang yang telah lapuk itu tak dapat dianggap sebagai kain biasa! Ia adalah panji-panji yang senantiasa berkibar di puncak kehidupan tinggi dan panjang yang dilalui pemiliknya dengan tulus dan beriman serta gagah berani.
Dan sosok tubuh dari salah seorang yang terakhir meninggal di antara orang-orang Muhajirin ini dipikul di atas pundak orang-orang yang membawanya ke Madinah, untuk ditempatkan dengan aman di dekat sekelompok tokoh-tokoh suci dari para shahabat yang telah mendahuluinya menemui Allah, dan jasad-jasad mereka yang dipenuhi rasa rindu itu mendapatkan tempatnya di bumi dan tanah Baqi’.

Selamat jalan wahai Sa’ad…! Selamat jalan wahai pahlawan Qadisiyah, pembebas Mada-in dan pemadam api pujaan di Persi untuk selama-lamanya…!

Abu Ubaidah Bin Jarrah – Pemegang Amanat Umat Dan Rasulullah

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, “Setiap umat mempunyai sumber kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” Itulah penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah saw. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya. Tapi ini bukan berarti, bahwa Rasulullah saw tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau dilihat dari kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu. Sekalipun ia tidak mengharapkannya. Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadu’, pemalu itulah diantara sifat yang paling menonjol dari Abu ‘Ubaidah bin Jarrah r.a. Muhammad bin Ja’far pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah saw. “Ya Abalqasim,” kata utusan itu, “Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin terhadap kaum muslimin.” Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka seraya berkata, “Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.” Rasululah menyebut “amin” (terpercaya) sampai diulanginya tiga kali. Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat ra. Masing-masing ingin ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi utusan.

Umar ra mengungkapkan, “Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah saw untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan.” Itulah mulianya ahklak Abu Ubaidah bin Jarrah.

Masuk kedalam shaff da’wah Islamiyah.
Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan dekatnya untuk mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Ustman bin Maz’un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah saw. Di depan Rasulullah saw mereka sama-sama mengucapkan kalimat syahadah.

Pengorbanan
Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh apa yang dia miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan setengah atau pun sebahagiannya. Harta, tenaga dan raga beliau persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya akan dia infakkan, kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda yang gagah berani yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit sekali untuk di kalahkan.

Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan sahabat yang satu ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah saw. Ini bisa terlihat di dalam perjuangannya membela Islam. Dimana saat terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan, memerangi tentara musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah kandungnya yang masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan ketemu bapaknya ditengah-tengah kancah peperangan.

Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara Qabilah atau peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan tetapi adalah peperangan antara hizbullah(tentara Allah) dengan hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang haq dengan bathil, yang tidak mungkin disatukan selama matahari masih terbit dari sebelah timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah perlawanan antara sang anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah kandung di depan matanya sendiri.

Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al Mujadilah: 22).

Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau sepenuhnya untuk Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum kerabat, kalau Islam yang berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq ataupun sebaliknya, semuanya harus tunduk pada aturan yang satu sekalipun itu tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Waktu terjadinya perang Uhud, dimana pihak tentara muslimin ketika itu mengalami kekalahan. Datang diantara tentara musyrikin diikuti dengan teriakan, “Mana yang namanya Muhammad?! Mana yang namanya Muhammad? Biar saya bunuh dia.” Suara itu di dengar Abu Ubaidah bin Jarrah dan sahabat-sahabat lainnya, akhirnya mereka mencari Rasulullah saw dan mengelilinginya. Bila musuh datang merekalah sebagai bentengnya.

Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh sehingga gigi depannya retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu Bakar kasihan dan ingin mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. “Biarkan itu bagian saya,” pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan Rasulullah pasti kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua giginya pun ikut tercabut juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, “Sebaik-baik gigi yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Perjuangan
Jabir bin Abdullah pernah bercerita, “Suatu ketika Rasullah saw.mengutus kami dalam suatu peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Kami hanya dibekali sekarung korma untuk tiga ratus orang. Padahal perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir yang luas dan tandus. Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma. Namun disaat bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan satu korma untuk satu orang.

Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat kami dalam melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis, badan terasa letih, capek dan lapar. Namun perjalanan masih jauh. Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba disaat kami betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati, mula-mula Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi, karena keadaan sudah memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu kami melanjutkan perjalanan.”

Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan Umar bin Khattab. Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, “Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian.” Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, “Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah.” Umarpun mengulangi pertanyaannya, “Apa masih ada yang lebih baik dari itu?”, lantas sahabat yang lainpun menjawab, “Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah.” Umar bin Khattab kembali bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab, “Wahai Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu.” Umar bin Khathab kemudian menjelaskan, “Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana.”

Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, “Kalau Abu Ubaidah masih hidup maka aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan bila kelak Allah swt bertanya tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawabnya, ‘Aku memilih dia karena dia seorang pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.'”
Demikianlah sosok kepribadian sahabat kita yang satu ini. Ia tidak pernah mundur dalam memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu, dan jiwanya ia korbankan demi Islam dan kejayaan umatnya. Radhiyallahu ‘anhu wardhahu.